5 Mentalitas Goblok yang Membuat Sarjana Linglung

Mengapa banyak mahasiswa yang setelah lulus kuliah tapi tetap menjadi jobless (bahasa keren untuk pengangguran)?

Melamar kerja ke sana ke mari tapi tidak ada yang memanggil interview.

Rajin cari lowongan kerja di internet dan koran tapi tidak ada yang memenuhi syarat.

Mungkin karena ada mentalitas goblok yang memenjara teman-teman.
foto: wacana-kampus.blogspot.co.id

Mentalitas goblok itu menutup mental, kreatifitas dan kecerdasan teman-teman.

Sehingga pada akhirnya, teman-teman lulus dari kuliah, tapi bingung hendak ke mana, hendak berbuat apa.

Lulus menyandang gelar ahli madya, sarjana atau magister, tapi hanya bisa melongo ketika ditanya tentang ilmu yang didapat ketika kuliah.

Setidaknya ada lima mentalitas goblok yang dapat memenjara teman-teman, sehingga membuat teman-teman lulus tapi linglung. Apa saja itu?

1. Pola Pikir Malas

Pola pikir malas adalah mentalitas pertama yang patut diwaspadai.

Mentalitas malas adalah keengganan untuk melakukan tindakan walaupun itu bermanfaat untuk dirinya.

Keengganan ini adalah penyakit mental, bukan karena tidak mampu, bukan pula karena ada pekerjaan lain yang lebih penting.

Mahasiswa yang memiliki mental malas cenderung menunda-nunda apa yang seharusnya segera dilakukan.

Padahal pekerjaan itu bisa dilakukan sekarang dan ia mampu melakukannya.

Kalimat yang biasa diungkapkan adalah, nanti saja, kenapa tidak dikerjakan besok?, Nanti agak sorean saja, dan sejenisnya.

Hal ini bisa terlihat saat ada tugas dari dosen misalnya.

Sikap ini bahkan akan terbawa dan muncul ketika mendapatkan kesempatan.

Misalnya, mendapatkan peluang pengajuan beasiswa dengan syarat mengurus kelengkapan administrasinya terlebih dahulu.

Jika mental malas ini yang muncul, ia akan menunda proses mengurus administrasinya dengan alasan, nanti sajalah masih 3 hari lagi, besok lagi lah hari ini lagi malas.

Atau, ntar aja deh, lagi gak mood. Dan jawaban sejenisnya.

Bila mental malas ini tetap dipelihara dan dibiarkan berkembang, maka teman-teman akan kehilangan banyak kesempatan.

Kesempatan untuk belajar menyelesaikan masalah dan kesempatan untuk meningkatkan kualitas diri teman-teman.

Entah itu kualitas hard skill ataupun soft skill.

2. Pola pikir instan

Pola pikir instan menjadi mentalitas goblok selanjutnya yang harus diwaspadai.

Pola pikir instan adalah keinginan untuk dapat memenuhi segala sesuatu secara segera, secepat-cepatnya, saat itu juga tanpa berfikir atau menempuh prosesnya.

Contoh gampangnya, ingin IPK tinggi tapi tidak mau belajar dan mengulang materi kuliah dari dosen.

Maka belajar hanya dilakukan semalam sebelum ujian atau bahkan hanya satu jam sebelum ujian.

Alias metode belajar SKS (Sistem Kebut Semalam atau Sistem Kebut Satu jam).

Ingin nilai skripsi bagus tapi tidak mau ribet untuk melakukan riset dan analisis data. Jadilah ia beli skripsi atau melakukan plagiasi.

Jika mentalitas ingin serba instan ini sudah merasuk ke dalam jiwa teman-teman, maka jangan berharap knowledge dan skill yang telah teman-teman pelajari akan bertahan lama.

Jika ingin segalanya serba cepat tanpa menikmati proses dan perjuangannya, maka jangan berharap karier cemerlang dan gaji yang keren akan bertahan lama.

Menikmati mie instan saja, teman-teman harus menunggu seduhan dan sabar mengaduk bumbunya. Baru bisa dinikmati.

Apalagi urusan kuliah, karier dan kehidupan. Iya kan?!

3. IPK adalah Indiktor Segalanya.

Maksud dari IPK adalah indikator segalanya di sini bermakna bahwa nilai IPK ini menjadi acuan dalam mengukur segala sesuatu terutama untuk kesuksesan ketika dan setelah kuliah. 

Pada sisi pertama, bermakna IPK adalah segalanya sehingga harus diperjuangkan dengan segala cara sehingga memperoleh nilai tinggi atau cum laude.

Full akademis.

Kehidupan sehari-harinya hanya berputar antara kost kampus perpust.

Kegiatannya hanya tidur, makan, kuliah, mengerjakan tugas, membaca buku kuliah, dan tidur lagi.

Tidak ada kegiatan lain selain itu. Dalam fikirannya hanya ada bagaimana cara mendapatkan nilai IPK tinggi. Titik.

Mental seperti ini sepintas tampaknya bagus.

Karena memang indikator prestasi kuliah paling umum adalah nilai IPK.

Tapi jangan lupa, dunia kerja dan perkembangan karier tidak hanya membutuhkan ilmu kuliah dan nilai IPK tinggi.

Lebih dari itu. Dunia kerja membutuhkan skill lain yang sering kali tidak diajarkan di bangku kuliah.

Seperti team work, problem management, komunikasi persuasif dan sebagainya.

Memang, IPK tinggi menjadi salah satu pintu masuk atau syarat pelamar untuk dipanggil test dan interview kerja.

Tapi untuk urusan percepatan karier, peningkatan salary dan promosi jabatan, nilai IPK hampir-hampir tidak menjadi bahan pertimbangan.

Sebab, buat apa nilai IPK tinggi tapi buruk dalam hal komunikasi persuasif dan team work.

Sisi kedua, Full Aktifis.

Menjadi mahasiswa aktifis sepenuhnya, juga bukan pilihan yang tepat.

Memang, sisi baiknya teman-teman punya pengalaman dan jaringan yang biasanya lebih baik dari pada yang full akademis.

Tapi belum tentu. Ini terjadi jika aktifitas organisasi dilakukan dengan serius sebagai sarana belajar dan mengembangkan kompetensi diri.

Kalau berorganisasi hanya sebagai pelarian, karena diputus pacar misalnya, ya tidak bagus.

Oleh karena itu, bukan berarti teman-teman mesti mengabaikan nilai IPK.

Nilai IPK tetap penting karena itu menjadi bukti keseriusan teman-teman belajar selama kuliah.

Nilai IPK harus tetap dikejar dan diperjuangkan.

Upaya mengejar dan memperjuangkan nilai IPK harus dibersamai dengan aktifitas berorganisasi yang serius dan bermanfaat.

Sehingga terdapat keseimbangan antara hardskill dan soft skill.

4. Menyalahkan


Menyalahkan apa?


Menyalahkan apa saja.

Menyalahkan dosen, menyalahkan kampus, menyalahkan kurikulum, menyalahkan teman sekelas, menyalahkan ibu dan bapak kost atau kepala asrama, menyalahkan kementerian bahkan mungkin sampai menyalahkan presiden.

Mengapa ini menjadi mentalitas goblok yang harus dibuang jauh-jauh?

Karena menyalahkan siapapun atau apapun tidak akan merubah nasib teman-teman sedikitpun.

Tidak akan membuat teman-teman jadi belajar lebih mudah atau membuat teman-teman lulus lebih cepat.

Sama sekali tidak.

Justru, terlalu sering menyalahkan akan membuat teman-teman tidak maju cara berfikirnya.

Karena teman-teman hanya fokus pada kesalahan orang lain.

Bukan fokus pada memperbaiki dan meningkatkan kualitas diri teman-teman.

Terlalu sering menyalahkan juga akan membuat diri kita seolah-olah baik, benar dan hebat.

Dari pada sibuk menyalahkan, lebih baik teman-teman sibuk mempersiapkan diri menghadapi ujian tengah semestar atau ujian semester yang akan dihadapi.

Dari pada sibuk menyalahkan, lebih baik teman-teman mencari dan mempelajari ilmu atau keterampilan baru untuk meningkatkan kulitas diri.

InsyaAllah lebih bermanfaat untuk perjalanan kuliah dan perkembangan karier teman-teman setelah lulus nanti.

5. Melalaikan Tuhan


Ah, sok suci.

Mungkin ada di antara teman-teman yang berkata seperti itu saat sampai di pembahasan ini.

Boleh-boleh saja teman-teman berpendapat seperti itu.

Tapi, teman-teman jangan mengabaikan bahwa banyak studi yang telah menyimpulkan bahwa orang yang memiliki jiwa spiritualitas bagus atau kedekatan dirinya dengan tuhannya terjaga dengan baik.

Maka ia akan cenderung memiliki ketenangan diri, ketahananan mental dan optimisme yang sangat baik.

Ketenangan, ketahan mental dan optimisme adalah energi luar biasa.

Energi yang mampu membuat teman-teman tidak takut menghadapi dinamika kuliah seberat dan sesulit apapun itu.

Energi yang akan menjaga teman-teman berjalan bahkan berlari meraih mimpi-mimpi yang telah dituliskan.

Yang lebih pasti, tuhan adalah yang telah menciptakan kita.

Memberi kita banyak kenikmatan. Maka sudah sangat seharusnya, kita bersyukur dan mendekatkan diri kepadaNya.

Jika, teman-teman seorang muslim, jagalah sholat lima waktu.

Lakukan dengan khusyuk dan penuh keikhlasan. Minimal itu.

Mudah-mudahan Allah SWT memudahkan teman-teman dalam menempuh kuliah dan meraih impiannya.

sumber: infomahasiswa.com